Demam Kode QR di Buku Teks

Jakarta, PenulisPro.id | Ketika pandemi  COVID-19 mulai melandai, saya menginap di sebuah hotel di Bandung bersama keluarga. Malam hari saya keluar bersama putra kecil saya mencari makanan di sekitar hotel. Terbetik keinginan membeli pizza di sebuah gerai pizza ternama.

Imbas pandemi, gerai pizza model pesan antar itu memberlakukan pemesanan melalui kode QR. Saya pun sudah beradaptasi dengan kondisi ini. Namun, beberapa kali informasi dan cara pemesanan yang diakses gagal. Mungkin karena sinyal tidak sedang bersahabat atau faktor lain pada aplikasi. Akhirnya, saya memutuskan tidak jadi membeli karena ribet betul.

Hari kemarin, 15/11, Detik.com menyajikan berita dari Situs X. Akun @biasalahanakmud mengangkat topik kode QR untuk mengakses menu makanan. “Budaya” peninggalan zaman pandemi itu ditengarai membuat orang jadi malas makan. Kasusnya mirip dengan saya.

https://food.detik.com/info-kuliner/d-7038228/qr-code-menu-di-restoran-ternyata-bikin-banyak-orang-malas-makan

Seminggu sebelum saya menulis artikel ini, saya juga menginap di salah satu hotel di Yogyakarta. Saat sarapan pagi, petugas restoran menanyakan voucer sarapan yang dikirim via surel. Saya cek gmail, ternyata belum ada karena saya masuk hotel pukul 2 dini hari. Petugas mengarahkan saya untuk memindai kode QR dan mengisi formulir yang tersedia.

Saya pun berkomentar, “Ini kok ribet banget, ya. Orang mau sarapan disuruh mengisi form.” Akhirnya, si petugas mempersilakan saya duduk dan mengambil makanan.

Saya pun teringat dengan tren digitasi ini dunia penerbitan buku, khususnya penerbitan buku teks/buku pelajaran. Sebelum pandemi, penerbit menggunakan tautan pranala (hyperlink) untuk mendorong siswa mengakses informasi digital di internet. Cara ini dianggap modern dan kekinian seiring berkembangnya penggunaan komputer dan gadget sebagai sarana belajar.

Kebiasaan mencantumkan kode QR mulai menggejala pada buku teks Kurikulum Merdeka—termasuk ditiru dari buku-buku terbitan asing yang juga menggunakan kode QR untuk memasukkan materi berbasis internet. Tren pencantuman kode QR di dalam buku cetak ini tampaknya didorong oleh usaha menampilkan pembelajaran multimoda. Terkadang secara sempit makna pembelajaran multimoda ini dipahami hanya menggunakan teknologi, terutama berhubungan dengan teknologi digital.

Padahal, akses pembelajaran melalui kode QR hanya salah satu contoh pembelajaran multimoda. Ia tidak dapat “dipaksakan” ada jika memang tidak diperlukan atau malah menjadi tidak efektif.

Mari kita lihat kasusnya di dalam penerbitan buku teks.

Tidak Lulus Penilaian Gara-Gara Kode QR

Buku teks pendamping yang diterbitkan oleh penerbit swasta sejak tahun 2022 harus dinilaikan di Pusat Perbukuan. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Ada beberapa kriteria penilaian yang menjadi indikator buku teks pendamping dapat diloloskan dan diluluskan.

Penggunaan kode QR pada buku alih-alih menunjukkan buku itu telah menerapkan pembelajaran multimoda dan modern, malah membuat buku itu tidak lulus. Loh kok bisa?

Pertama, yang paling sering terjadi kode QR itu tidak dapat diakses. Kedua, kode QR itu mengarahkan informasi pada situs web atau media sosial yang mengandung konten tidak patut. Ketiga, kode QR itu mengarahkan pada akses materi yang tidak relevan dengan pembelajaran atau tidak ada kepentingannya sama sekali.

Tip bagi penulis/penerbit jika ingin betul mencantumkan kode QR, perhatikan hal berikut:

  1. Jangan jadikan tautan informasi/materi di kode QR sebagai materi esensial dalam pembelajaran. Jadikan saja sebagai pengayaan. Jika menggunakan kode QR untuk memasukkan materi asesmen formatif (tugas) berikan alternatif lain yang tidak menggunakan sumber internet.
  2. Usahakan kode QR tertaut pada situs tepercaya atau akun media sosial tepercaya sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan. Lebih baik menautkannya pada situs web yang dikelola dan dikembangkan oleh penerbit sendiri. Akses ke media sosial secara bebas, seperti Youtube, Tiktok, Instagram, Facebook, dan situs-situs web yang meragukan dapat menimbulkan masalah pada kemudian hari.
  3. Gunakan kode QR bersamaan dengan pranala dalam versi tautan ringkas, seperti menggunakan bitly atau s.id agar dapat diakses juga melalui komputer. Sumber tautan kode QR harus muncul pada daftar pustaka sebagaimana penulisan sumber internet sebagai penghormatan terhadap hak cipta pihak lain.
  4. Pastikan sekali lagi kode QR berfungsi dan  terhubung dengan informasi/materi yang sebenarnya.

Sebagai informasi, terlalu banyak menggunakan kode QR itu menyebalkan dalam penilaian. Mengapa? Ya, Anda mengerjai para penilai untuk mengecek satu per satu kode QR dan pranala yang disajikan di dalam buku.

Keterlaksanaan Kode QR dan Kesenjangan Digital

Komite Penilaian Buku Teks Pelajaran di Pusat Perbukuan mengangkat isu penggunaan kode QR yang menggejala ini dalam rapat pleno. Saya sebagai salah seorang anggota komite menyampaikan bahwa penggunaan kode QR semestinya dibatasi karena faktor keterlaksanaannya (feasibility) yang harus diperhitungkan. Faktor ini mempertimbangkan adanya kesenjangan digital (digital divide) pada siswa dan guru.

Pertama, kesenjangan digital dapat terjadi apabila siswa atau guru tidak memiliki gadget/ponsel pintar untuk mengakses kode QR. Pencantuman kode QR yang tidak dapat diakses menjadi mubazir apabila dikaitkan dengan materi pembelajaran, termasuk asesmen formatif seperti tugas yang mengharuskan siswa mengakses informasi di internet. Pembelajaran pun terganggu jika hanya bergantung pada materi di kode QR.

Kedua, kesenjangan digital dapat timbul apabila siswa belum mampu menggunakan gadget/ponsel untuk mengakses informasi, termasuk pandangan orang tua untuk tidak membolehkan anak menggunakan ponsel sampai pada usia tertentu. Kemungkinan ini dapat terjadi pada siswa Fase A dalam Kurikulum Merdeka, yaitu mereka yang duduk di kelas I dan II SD. Faktanya buku teks kelas I dan II SD ternyata juga sudah “dihiasi” dengan kode QR di sana sini.

Dengan entengnya penulis/penerbit menulis: Mintalah bantuan guru/orang tuamu untuk mengakses informasi di kode QR.

Keterlaksanaan pembelajaran melalui kode QR ini menjadi rentan tidak dapat dilakukan, baik oleh siswa maupun guru. Penulis dan penerbit harus melihat kemungkinan ini untuk tidak menggeneralisasi bahwa siswa pasti memiliki gadget/ponsel dan pasti mampu mengakses informasi. Generalisasi ini malah menunjukkan minimnya empati terhadap siswa/guru dengan kesenjangan digital.

Sebagai antisipasi, pencantuman kode QR harus diikuti pencantuman tautan pranala (hyperlink) dengan format tautan ringkas (short link) agar dapat ditulis ulang dan diakses melalui komputer. Informasi yang diakses di kode QR sebaiknya hanya informasi pengayaan (enrichment) sehingga tidak ada kewajiban siswa harus mengaksesnya.

Jika kode QR  mengandung materi esensial yang harus dipelajari oleh siswa, berikan alternatif materi lain yang lebih memungkinkan untuk diakses, misalnya melalui buku nonteks, koran/majalah, siaran televisi, siaran radio, atau media-media lain yang tersedia.

Kode QR dan Minat Baca

Aha, jangan-jangan kode QR pada buku teks itu seperti kode QR di restoran untuk mengakses menu. Alih-alih membuat siswa mau membaca buku dan antusias mengakses informasi malah menyebabkan mereka malas membaca buku teks. Sedikit-sedikit kode QR, kode QR  kok sedikit-sedikit. Boleh jadi memang demikian.

Sejatinya, ya buku teks sebagai bahan ajar memang untuk dibaca, digunakan melakukan kegiatan dan tugas-tugas, dan digunakan juga untuk penilaian (asesmen). Kode QR jika dimasukkan sebagai bahan pembelajaran bakal menjadi beban. Beban karena siswa harus menggunakan gadget/ponsel, harus membaca/memirsa lagi media lain, dan harus pula mengerjakan tugas berbasis media tersebut.

Karena itu, gunakan kode QR dengan bijak. Saya juga terkadang menggunakan kode QR di dalam buku cetak. Namun, saya berikan tautan itu untuk materi yang “mengganggu” jika saya taruh sebagai teks. Sebagai contoh, saya menautkan teks regulasi (UU, PP, Permen) di kode QR agar pembaca yang ingin mengetahui secara lengkap dapat mengakses saja di internet. Ia tidak merupakan materi inti di dalam buku saya.

 

Satu pemikiran pada “Demam Kode QR di Buku Teks”

Tinggalkan komentar

Chat dengan CS
Salam untuk pengunjung website PENPRIN,
Kalau ada yang ingin ditanyakan langsung, silahkan chat via WhatsApp