ROYALTI

 
PenulisPro.id | Di penerbit tradisional, penulis mendapatkan imbalan atas hak ekonomi yang dialihkan ke penerbit dari hak cipta atas karyanya. Secara umum imbalan yang diberikan adalah royalti atau persentase tertentu dari harga jual buku terhadap buku yang terjual. Karena itu, royalti diterapkan dengan pembagian termin pembayaran, misalnya per triwulan, per semester, atau per tahun.
 

Semua biaya penerbitan ditanggung oleh penerbit atau dengan kata lain, penerbit menginvestasikan uangnya untuk karya buku dari penulis. Jika ada penulis yang disuruh membiayai produksi sebuah buku, itu bukan cara yang lazim atau cara konvensional. Konteks seperti itu terjadi karena ada kebutuhan penulis untuk karyanya cepat-cepat dibukukan atau harus dibukukan.

Selain sistem royalti, penulis boleh juga mendapatkan imbalan dari jual putus (outright) dengan limitasi atau tanpa limitasi. Jika di perjanjian tidak ada limitasi eksploitasi hak ekonomi, hak itu kembali otomasi setelah 25 tahun (berdasarakn UUHC Nomor 28/2014). Besarnya imbalan jual putus sangat bergantung dengan kebijakan penerbit atau negosiasi.

Ada juga yang memberlakukan imbalan semiroyalti, yaitu penulis diberi uang muka. Lalu, pembayarannya selanjutnya diperhitungkan sebagai royalti yang persentasenya minimal, misalnya 5%–8%.

Di dalam bukunya The Self-Publishing Manual, Dan Poynter mengungkapkan besaran royalti yang diterima penulis itu antara 5%–10%. Royalti 5% biasanya diterima oleh penulis buku teks/buku sekolah yang dicetak dengan tiras sangat besar mencapai puluhan, bahkan ratusan ribu eksemplar. Di Indonesia besaran royalti umum berkisar antara 8%–10%, sedangkan penulis dengan posisi tawar yang kuat dapat memperoleh hingga 12%.
 

Sebagai sebuah negosiasi, ada juga royalti dilakukan secara progresif. Artinya, besaran royalti akan terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan prestasi penjualan yang mampu dibukukan oleh buku itu. Besarnya rupiah royalti yang diterima oleh penulis sangat berhubungan dengan jumlah tiras terjual, bukan tiras tercetak.

Jika buku dicetak 5.000 eksemplar dengan harga 100.000, potensi royaltinya adalah Rp50.000.000 (10%). Kondisi itu belum disebut best seller. Menurut saya ketika penulisnya mengantongi royalti Rp500 juta dalam rentang waktu pendek (misalnya, 1–2 tahun), itu baru best seller. Artinya, buku harus terjual sebanyak 50.000 eksemplar.

Henry Manampiring, penulis Filosofi Teras, tengah bersiap merayakan cetakan ke-80 bukunya. Jika rata-rata buku itu dicetak 5.000, ia sudah mencapai tiras 400.000 eksemplar. Hitung sendiri berapa royaltinya.
 
Namun, tak semua penulis beruntung seperti Henry. Dari 1.000 penulis, mungkin hanya 1–2 orang yang menikmati royalti lebih dari setengah miliar rupiah sehingga dapat membeli rumah tipe 45/60 untuk Gen-Z. Seberuntung-beruntungnya saya menerima royalti juga hanya sampai angka ratusan juta dan itu pun dari buku sekolah.
 
Ketika mendengar ada usulan memasukkan jumlah royalti ke dalam pasal di Undang-Undang, saya kira itu tidak mungkin dan akan memberatkan industri perbukuan yang sudah babak belur di dalam ekosistem perbukuan.
 
Jumlah toko buku semakin menyusut, tidak ada kertas subsidi untuk buku, dan jumlah pembaca juga tidak berkembang signifikan sehingga potensi penjualan buku pun menyusut dari segi  (awal cetak pertama) yang biasanya optimistis di angka 3.000–5.000 eksemplar menjadi turun drastis ke angka 1.000–2.000 eksemplar. Oleh sebab itu, berapalah royalti yang akan diterima penulis?
 
Di dalam struktur rugi laba penerbit, ternyata biaya rabat ke toko buku dan distributor sangat tinggi. Ia dapat mencapai 45%–55% dari harga buku. Biaya cetak (untuk buku kertas) mencapai 20%. Rabat dan cetak saja sudah mencapai angka 65%. Sisa 45% harus dibagi lagi dengan royalti penulis 10%. Sisa 35% itu juga mencakup biaya editorial.
 
Lalu, berapa margin keuntungannya? Mendapat 15% saja sudah beruntung sekali. Karena itu, hidup penerbit sangat ditopang adanya buku-buku best seller.
Pertaruhan penerbit adalah pada portofolio judul. Ada yang berprinsip sebanyak-banyaknya judul agar peluang menerima pendapatan dan keuntungan lebih besar. Namun, ada juga yang selektif hanya berfokus pada judul-judul buku potensial. Demikianlah begitu sengitnya persaingan di pasar buku di tengah pembaca buku yang tidak tumbuh signifikan dari kalangan kelas menengah.
 
Penulis tidak dapat hidup dari royalti buku? Itulah faktanya, kecuali ia penulis buku best seller sekaligus produktif. Apalagi, keadaan itu diperparah dengan tokoh antagonis, pembajak buku, yang mencuri rezeki para penulis dan penerbit. Pembajak buku di Indonesia kagak ada matinye. Dibunuh satu, tumbuh lagi seribu. Diracun satu, muncul lagi varian yang kebal racun.
 

Tinggalkan komentar