Jakarta, PenulisPro.id | Salah satu pertanyaan yang dilontarkan kepada saya saat berbincang nonformal dengan Tim ISBN Perpusnas Ri (28/11), “Apakah boleh di dalam satu buku itu penulis merangkap editor/penyunting?”
Saya tersenyum menyambut pertanyaan ini. Dulu sebelum insaf dan merasa mampu, saya juga begitu. Merasa sah-sah saja.
Di dalam satu buku tertera nama saya sebagai penulis, editor, bahkan desainer buku. Itu semua betul-betul saya kerjakan secara mandiri. Namun, saya insaf soal ini bukanlah soal seseorang mampu melakukan semuanya atau tidak, melainkan soal perilaku etis sesuai dengan pandangan umum.
Tentu tidaklah masalah jika seorang penulis merangkap menjadi desainer atau ilustrator karena ia mampu melakukannya. Dua pekerjaan itu jelas berbeda. Bahkan, sangat lazim seorang penulis buku anak adalah juga ilustrator buku anak atau sebaliknya.
Justru menjadi tidak lazim jika seorang penulis merangkap sebagai editor untuk bukunya sendiri. Ya, ini ibarat “jeruk makan jeruk”. Ia yang menulis, ia pula yang memperbaiki kelemahan dan kesalahan pada tulisannya tanpa menggunakan kacamata atau sudut pandang orang yang benar-benar disebut editor/penyunting.
Sejatinya si penulis disebut telah melakukan swasunting (self-editing) terhadap karyanya. Namun, swasunting hasil pekerjaan penulis tidak pernah dikreditkan sebagai pekerjaan seorang editor/penyunting. Dengan demikian, tidak relevan ia menyebut dirinya juga seorang editor/penyunting untuk buku yang ditulisnya. Kalaupun benar-benar tidak ada editor yang bekerja untuk bukunya, ia cukup menyebut dirinya sebagai penulis saja.
Saya juga pernah berpikir bahwa tidaklah etis seorang editor buku bunga rampai juga turut menjadi penulis bunga rampai tersebut. Namun, saya memahami kerja penyuntingan naskah buku biasa berbeda dengan kerja penyuntingan bunga rampai. Editor/penyunting bunga rampai adalah sebuah penunjukan atau penugasan untuk memilih dan memilah karya tulis atau menghimpun karya tulis seperti makalah dari sebuah seminar, lokakarya, simposium, dan sebagainya. Jika karyanya diikutsertakan, mungkin sebuah subjektivitas yang berterima, biarkan pembaca yang menilai naskahnya layak atau tidak.
Berbeda halnya jika penulis sekaligus menjadi penyunting naskah pada karya naskah biasa (bukan bunga rampai), ia boleh jadi tidak melihat kelemahan dan kesalahan pada naskahnya yang tersembunyi. Hal ini yang dapat menjadi berbahaya dan kurang etis karena penulis tidak mampu menyunting secara menyeluruh karyanya. Dalam pandangannya karya itu sudah tampak bagus dan layak.
Kembali pada pertanyaan Tim ISBN Perpusnas, saya memberi pandangan buku yang ditulis dan disunting oleh orang yang sama merupakan bentuk perilaku kurang etis dan kurang dapat dipertanggungjawabkan dalam penerbitan.