Ikigai: Ketika Saya Menulis untuk Bahagia

PenulisPro.id/Bambang Trim | “Tidak ada seorang penulis pun, kecuali si bebal, yang menulis bukan demi uang.” Ungkapan telak dari Samuel Johnson tersebut mengawali isi buku How to Start and Run a Writing and Editing Business karya Herman Holtz. Buku itu termasuk yang sangat memengaruhi saya saat menjalankan bisnis tulis-menulis.

Saya tertarik magnet tulis-menulis diawali dengan kegetolan membaca HAILupusBalada Si Roy, saat masih di SMP dan SMA. Dalam usia ABG itu, saya memiliki kesenangan lain yaitu BMX dan breakdance, plus olahraga beladiri—saya sempat menekuni pencak silat dan sebentar mempelajari kempo. Tentu hal itu membawa kebahagiaan tersendiri yang masih terkenang sampai sekarang.

Saat SMA, saya berada pada situasi bambang yang bimbang. Sebagaimana remaja lain, saya terkimbang-kimbang menghadapi masa depan. Sajian HAI dan tabloid Monitor adalah hiburan sekaligus impian. Saya begitu mengagumi tulisan-tulisan di dalamnya yang dikomandani Arswendo Atmowiloto. Sebuah dorongan menulis muncul kali pertama dari hobi berkorespondensi.

Tahun 1991, lulus dari SMA, saya diminta ke Bandung oleh kakak saya yang saat itu sudah diterima bekerja di sebuah BUMN. Berangkatlah saya dari Medan ke Bandung menumpang sebuah bus lintas Sumatra dan Jawa.

Saya sudah berangan-angan masuk ITB, mempelajari ilmu teknik berbekal ijazah SMA dari jurusan fisika. Perasaan saya memang akan gagal di UMPTN dengan persaingan berat, sementara itu persiapan saya seadanya.

Sampai kemudian saya mengikuti tes non-UMPTN di D-3 Sastra Indonesia, Unpad. Saya malah diterima di Program Studi Editing, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagian besar mata kuliahnya adalah tentang bahasa, menulis, dan penerbitan.

Tahun 1991 menjadi titik tumpu bagaimana saya mempraktikkan Ikigai menulis dalam hidup saya. Apakah saya benar-benar berbakat menulis? Rasanya jauh panggang dari api mengingat nilai bahasa Indonesia saya saat kelas I SMA diganjar nilai 5 (merah). Tahun-tahun berikutnya nilai itu sudah biru, tetapi rata-rata pas-pasan.

Ikigai menjadi jawaban tahun-tahun setelah itu saya bergulat dengan tulisan dan obsesi menulis di media massa. Saya memiliki sebuah buku catatan harian untuk menuliskan apa pun. Zaman mesin tik yang masih saya alami membuat saya sering larut dengan hentakan jari-jari di mesin tik pinjaman, pagi, siang, dan malam.

1. Menjawab Apa yang Saya Sukai

Tidak perlu waktu lama bagi saya menyukai apa yang saya pelajari di Prodi Editing Unpad. Beberapa mata kuliah menjadi magnet yang menarik saya ke kutub dunia penerbitan—dunia yang dipenuhi gagasan. Saya telah jatuh cinta pada tahun pertama saya kuliah di Editing. Saya tidak lagi berpikir menjadi tukang insinyur.

Renjana (passion) saya melebihi apa yang dimiliki oleh teman-teman sekelas saya. Saya sering terbenam di perpustakaan, membaca banyak hal tentang penerbitan dan pencetakan. Waktu itu masih terbit rutin majalah Penyuluh Grafika dari Pusat Grafika Indonesia (Pusgrafin). Di situlah saya mendapatkan banyak artikel tentang penerbitan. Jadi, saya lebih banyak menghabiskan waktu di bagian ilmu komunikasi daripada bagian ilmu bahasa dan sastra.

Menjelang lulus D-3 tahun 1994, tulisan saya akhirnya menembus media massa lokal dan nasional. Obsesi saya pun tuntas. Sebuah tulisan saya tentang aktivis kampus dimuat di tabloid Hikmah(grup Pikiran Rakyat). Satu tulisan lagi tentang editor dimuat di Republika. Sejak itu tulisan saya muncul di berbagai media, termasuk Kompas dan Koran Tempo. Sebagian besar tentang tulis-menulis dan perbukuan.

Inilah jawaban kebahagiaan saya saat membaca majalah HAI, novel-novel pop karya Hilman Hariwijaya dan Gola Gong, dan tabloid Monitor. Saya tertarik bukan ke dunia jurnalistik, melainkan ke dunia penerbitan buku. Saat melanjutkan studi ke S-1, saya mulai tertarik ke dunia sastra, khususnya sastra anak-anak.

2. Menjawab Apakah Saya Dapat Menulis dengan Sangat Baik

Teringat soal bakat menurut Daniel Coyle (The Talent Code) bahwa bakat adalah keterampilan yang diulang-ulang. Saya melakukan pengulangan menulis selama tiga tahun (1991—1994) sebelum akhirnya tulisan saya dimuat. Saya masih terus mengulang cara saya menulis hingga saat ini!

Saya belajar sendiri melalui buku-buku (terutama di perpustakaan); melalui beberapa pelatihan—jarang saya ikuti karena waktu itu saya tidak memiliki uang yang cukup; melalui pertanyaan kepada para penulis yang saya jumpai, terutama dosen-dosen saya.

Jadi, saya bukan belajar tanpa tutor atau mentor. Mentor utama saya adalah dosen saya yaitu Bu Sofia Mansoor dan Pak Dadi Pakar (alm.)—keduanya alumni ITB yang berbelok jalan ke dunia buku. Bu Sofia dari farmasi, sedangkan Pak Dadi dari teknik elektro. Mentor saya yang lain adalah Pak Wilson Nadeak (sastrawan) serta beberapa dosen bahasa Indonesia yang luar biasa (di antaranya Syofyan Zakaria, Emping Rusmana, Ade Kosmaya, Muchtar, Kusman K. Mahmud—kecuali yang saya sebut terakhir, semuanya sudah almarhum).

Jadi, omong kosong seorang penulis berhasil menulis dengan baik tanpa pengulangan, pelatihan mendalam, dan sentuhan seorang mentor atau meminjam istilah Coyle, seorang master coach. Karena itu, kecepatan menulis saya berkembang bersamaan dengan kualitas tulisan yang saya buktikan melalui beberapa kompetisi menulis.

Saya membaca buku-buku menulis dari The Liang Gie, Arswendo Atmowiloto, Eka Budianta, Pamusuk Eneste, dan banyak lagi. Saya juga membaca buku-buku penerbitan buku yang langka karya Taya Paembonan, Hassan Pambudi, Dadi Pakar, Sofia Mansoor, Judith Butcher, Datus C. Smith Jr., Herman Holtz, dan Dan Poynter. Semua buku itu menimbulkan kesenangan sehingga saya tersesat di dalamnya. Sampai kini saya masih terus mengumpulkan buku tentang menulis dan membacanya.

3. Menjawab Apakah Kemampuan Saya Layak Dibayar

Sebagaimana kata-kata Samuel Johson ini kadang menjadi pertentangan batin ketika seseorang mulai berpikir soal uang dengan kemampuan atau keterampilan yang dimilikinya. Namun, prinsip Ikigai tidak menafikan hal itu, bukan pula disebabkan seseorang sangat bebal sehingga tidak memikirkan uang dari kemampuan menulisnya.

Hal yang mengkhawatirkan apabila seseorang yang hendak belajar menulis sudah berpikir tentang uang. Ada penulis pemula yang belum memiliki karya yang konsisten dan kukuh sudah mengajukan pertanyaan berapa ia harus dibayar. Rasanya memang keterlaluan berpijak pada ilmu yang serba-instan, sementara itu saya melaluinya dalam hitungan tahun dan waktu menulis lebih dari 12 jam sehari.

Uang memang datang dengan sendirinya ketika orang lain mengetahui kemampuan seorang penulis. Saya mengajak seorang penulis untuk mulai menghargai dirinya sendiri dengan berani menetapkan honor tulisannya. Saya kira kebahagiaan utama bukan soal seberapa besar penulis itu dibayar, tetapi di balik bayaran itu ia dapat belajar banyak tentang suatu hal.

Tersebab menulis, saya dapat berkeliling dunia yang dibayari oleh klien saya atau perusahaan tempat saya bekerja. Saya sudah ke Mekkah, Madinah, Jeddah, Kairo, Alexandria, Frankfurt, Paris, Amsterdam, Kuala Lumpur, Singapura, Quezon (Filipina), Pukhet (Thailand), Osaka, Kyoto, dan Naning (China).

4. Menjawab Apakah Dunia Membutuhkan Saya

Ini tentang panggilan hidup dari menulis. Apakah saya benar-benar dibutuhkan? Atau boleh ditanyakan begini: Apakah tulisan saya benar-benar membantu orang lain untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik?

Saya memulai karier di perbukuan (penerbit swasta) sebagai karyawan paling bawah dalam strata penerbitan. Catatan karier saya sejak 1995 hingga 2011 di perusahaan swasta, yaitu Remaja Rosdakarya, Salam Prima Media, Grafindo Media Pratama, MQ Publishing, Mutiara Qolbun Saliim (MQS), Salamadani Pustaka Semesta, dan Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Saat berusia 31 tahun, saya sudah menjadi direktur di MQ Publishing, lalu dimerger menjadi PT MQS.

Saat usia 40 tahun, saya memutuskan berhenti dari pekerjaan di swasta dan membangun perusahaan sendiri. Tidak mudah menjadi writerpreneur atau authorpreneur itu. Seolah gagah dan keren diungkapkan, tetapi penuh dengan darah dan air mata.

Saya sempat terpuruk dalam ekonomi karena terbelit beberapa utang pencetakan—keterlambatan klien membayar dan klien mengemplang adalah biang keroknya. Seorang coach yang saya dampingi untuk menulis justru malah membimbing saya untuk memperbaiki visi dan misi hidup. Ia mungkin mudah melihat “kekacauan” dalam hidup saya.

Jadi, saya harus menjawab pertanyaan sederhana: Untuk apa saya menulis?

Bambang kembali bimbang pada tahun-tahun kritis itu yaitu 2013–2015. Saya tetap menulis dan bekerja untuk perseorangan dan lembaga. Ada beberapa pekerjaan tidak saya tuntaskan benar karena saya merasa tidak ada lagi semangat untuk menuliskannya atau tulisan itu tidak benar-benar saya sukai. Padahal, selama ini tulisan apa pun mampu saya tuntaskan sebagai sebuah tantangan. Pasti ada yang salah. Saya tak lagi menemukan kebahagiaan menulis. Itu masalahnya. Mungkin karena saya berpikir terus tentang uang.

Sampai kemudian saya diundang untuk terlibat menyusun undang-undang. Resmilah saya bertugas sementara di Komisi X DPR-RI sebagai anggota tim pendamping ahli dalam penyusunan UU Sistem Perbukuan. Saat itu saya merasa menemukan kembali makna apakah dunia membutuhkan saya. Negara memerlukan saya untuk menyusun regulasi yang menyangkut hajat hidup kolega saya di dunia perbukuan.

Tahun 2016 saya mulai kembali bangkit untuk menjawab apakah dunia membutuhkan (tulisan-tulisan) saya atau apakah keterampilan saya diperlukan. Saya membuktikannya dengan terlibat sebagai konsultan di Puskurbuk, Kemendikbud dan menuntaskan beberapa pekerjaan menyusun regulasi dan membangun sistem perbukuan di lembaga pemerintah.

Salah satu karya yang membuat saya bahagia adalah keberhasilan merintis dan menyelenggarakan sertifikasi untuk penulis dan editor di Indonesia melalui badan resmi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).

Pandemi yang melanda tahun 2020 makin memberi makna tentang prinsip Ikigai sebagai nilai sebuah kehidupan. Hal ini yang mendorong saya bersemangat bangun subuh dan menulis setelah salat subuh. Menulis apa pun, termasuk menulis karena pekerjaan atau sekadar status di media sosial.

***

Prinsip Ikigai rasanya sangat cocok menggambarkan turun-naik hidup saya sebagai seorang penulis yang berkarier disebabkan renjana (passion), bukan karena uang semata. Bagaimana dengan Anda? | Ba(ha)sa Basi Bambang Trim.

Tinggalkan komentar

Chat dengan CS
Salam untuk pengunjung website PENPRIN,
Kalau ada yang ingin ditanyakan langsung, silahkan chat via WhatsApp