Siapa Pembaca Buku Korporat?

Cimahi, Penulispro.id | Yosal Iriantara dan Yani Surachman (2006) dalam bukunya Public Relations Writing menyatakan bahwa buku merupakan instrumen kehumasan prestisius. Hal ini disebabkan karena buku sering dicitrakan sebagai produk intelektual, baik, dan prestise. Karena itu, gagasan penulisan dan penerbitan buku oleh sebuah korporat/perusahaan termasuk ke dalam lingkup penulisan kehumasan (PR writing).

Beberapa korporat telah menerbitkan buku sebagai publisitas melalui PR atau komunikasi korporat. Sepanjang 2019–2022 terdapat beberapa buku korporat berdasarkan penelusuran saya melalui mesin peramban di dunia maya.

No. Nama Korporat Judul Buku Tahun
1. Patria Sky The Limit 2019
2. PT Reasuransi MAIPARK MAIPARK, Dari Industri Asuransi UmumUntuk Indonesia Tangguh Bencana 2020
3. PT PLN (Persero) a.     Menerangi Negeri: PLN 75 Tahun

b.     Menerangi Indonesia Memajukan Bangsa

2021
4. PT Brantas Abipraya (Persero) Menembus Batas, Menjemput Impian 2021
5. PT Gag Nikel Berjuang di Tengah Arus Pesimisme 2022
6. Mind ID (Holding BUMN Tambang) Membangun Peradaban: Kumpulan Kisah Inspirasi tentang Keberlanjutan 2022

Di laman situs webnya balaipustaka.co.id, penerbit pelat merah Balai Pustaka (BP) juga memuat dua buku korporat. Pertama, buku Beyond Infinity: 50 Tahun Perjalanan Transformasi Melampaui Batas-Batas yang merupakan publisitas PT Petrokimia Gresik. Kedua, buku Transformasi Pertamina: Mendobrak Sekat Menembus Transisi Energi yang merupakan publisitas PT Pertamina (Persero).

Saya coba menguji aksesibilitas buku korporat tersebut melalui internet. Hal ini sangat berhubungan dengan topik bahasan artikel ini, yaitu tentang siapa pembaca sasaran buku korporat. Dua buku terbitan BP tersebut tidak tersedia untuk dijual di pasar buku, baik toko buku fisik maupun toko buku maya. Setelah saya konfirmasi ke internal BP, buku tersebut hanya dicetak terbatas sesuai dengan permintaan korporat.

Berbeda halnya buku dari PT PLN berjudul Menerangi Negeri: PLN 75 Tahun yang masih tersedia di toko buku maya dan beberapa toko buku fisik. Buku ini dijual seharga Rp249.000.

Berdasarkan pengalaman mengelola beberapa penerbitan buku organisasi/buku korporat, saya sering ditanya tentang proses penerbitan buku korporat ini. Mereka memang terkadang memiliki bujet yang terbatas untuk penerbitan sehingga tersedia opsi penerbitan dengan cara menerbitkan sendiri. Namun, keinginan agar buku ber-ISBN dan juga dapat disebarluaskan menjadikan opsi penerbitan bersubsidi/berbayar juga saya tawarkan.

Apakah ini Sebuah Publisitas?

Sedikit berteori, Iriantara dan Surachman (2006: 48) berpendapat bahwa penulisan kehumasan (PR writing) tidak identik dengan publisitas. Perbedaan penting di antara keduanya adalah dalam soal tujuan komunikasi. Tidak setiap PR writing bertujuan publisitas. Di samping itu, tidak semua PR writing terkait dengan media massa (konvensional), tetapi menggunakan hampir semua media yang memungkinkannya menjangkau publik organisasi.

Terkait istilah ‘publisitas’ dan ‘publikasi’ dalam kegiatan kehumasan, Kriyantono (2021: 248) membedakannya. Publikasi mengandung makna lebih umum atau lebih luas, sedangkan publisitas adalah publikasi organisasi/perusahaan yang dimuat oleh media massa.

Jadi, ada dua sisi publisitas, yaitu penyedia informasi/berita (humas) untuk dipublikasikan dan media (penerbit media massa) yang memuat informasi/berita itu. Pemuatan informasi/berita dari sumber berita (humas) secara umum tidak memerlukan biaya sehingga kontrol terhadap pemuatan sepenuhnya ada pada media.

Selanjutnya, Kriyantono menyatakan bahwa dalam konteks humas, publisitas merupakan upaya building-information subsidies. Artinya, humas menyediakan informasi kepada media untuk dapat dimuat dalam berita dan menjadi agenda media ketika dimuat. Dengan demikian, humas dapat pula membangun agenda media.

Secara khusus, penerbitan buku korporat dapat dipandang sebagai publisitas karena memenuhi syarat sebagaimana dicirikan. Publisitas menggunakan media massa dan buku termasuk ke dalam media massa.

Ruben dan Stewart (2017: 208) menegaskan kedudukan buku adalah media massa sebagai berikut.

Buku termasuk kelompok media massa yang membantu perbanyakan, duplikasi, dan penguatan pesan untuk disebarkan kepada khalayak yang lebih besar. Buku sebagai media massa sama kedudukannya dengan koran, majalah, radio, dan televisi. Hanya buku bersifat tidak berkala sebagaimana koran dan majalah.

Namun, ada hal khusus bahwa penerbitan buku belum tentu nirbaya karena penerbitan melalui penerbit mayor atau lembaga jasa penerbitan sering kali menggunakan skema berbayar atau disebut penerbitan bersubsidi (vanity publishing). Kontrol media juga justru ada pada humas atau komunikasi korporat.

Entitas penerbit buku menjadikan penerbitan buku korporat sebagai peluang bisnis jasa penerbitan, apalagi bagi korporat-korporat besar. Buku korporat itu sendiri ditujukan kepada pembaca sasaran publik organisasi yang terkadang notabene merupakan pembaca ceruk (niche reader) dalam istilah saya.

Pembacanya terbatas hanya pada internal organisasi/korporat (karyawan dan pimpinan) dan pemangku kepentingan. Karena itu, secara bisnis penerbitan buku korporat kurang menarik jika tidak ada kemungkinan dicetak ulang.

Sebagai contoh, penerbit buku kerap menggunakan skema penerbitan bersubsidi. Penerbit akan mencetak buku dalam skala ekonomis 3.000 eksemplar. Lalu, korporat diwajibkan membeli buku sebanyak 2.000 eksemplar dengan tentunya mendapatkan rabat biasanya 30%–35% dari harga jual. Berdasarkan kalkulasi biaya rugi-laba penerbitan, angka penjualan kira-kira 1.300 eksemplar merupakan titik impas penerbitan buku. Dengan demikian, pembelian 2.000 eksemplar itu sudah memberikan keuntungan bagi penerbit.

Anda tidak perlu kaget jika dalam rentang waktu tertentu, buku korporat, terutama biografi/autobiografi pemimpin bisnis, dijual dengan harga obral oleh penerbit buku. Mereka sudah mencapai titik impas dan memperoleh keuntungan, sedangkan menyimpan stok buku akan membebani mereka. Opsi penjualan obral pun dipilih.

Penerbitan buku dengan tiras yang sangat terbatas, misalnya hanya 1.000 eksemplar memang dapat diperdebatkan, apakah ia merupakan publisitas atau bukan. Pengertian publisitas melalui media massa tentu mengandung tujuan tersebarnya berita atau informasi secara luas.

Karena itu, pengertian publisitas pada buku korporat dapat dianggap tepat apabila aksesibilitas terhadap buku itu tersedia, apalagi dalam bentuk tidak berbayar. Contohnya, buku itu menjadi koleksi di banyak perpustakaan atau versi digitalnya tersedia untuk publik secara akses terbuka.

Buku korporat menjadi kurang bermakna sebagai publisitas jika sekadar dijadikan suvenir atau malah menjadi artefak sejarah yang tidak pernah diketahui publik atau pembaca sasarannya. Tujuan publisitas juga tidak akan tercapai.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penerbitan buku korporat dengan menggunakan opsi penerbit mandiri atau penerbit mayor adalah sebuah publisitas karena buku termasuk media massa. Konteks pertanyaan apakah buku kertas dengan tiras terbatas dapat disebut publisitas tentu berpulang pada korporat. Korporat dapat saja mengonversi buku tersebut menjadi buku elektronik yang dapat diakses secara gratis, misalnya menempatkannya di Google Play Book.

Hal ini sama dengan yang terjadi di dunia penulisan karya tulis ilmiah. Pemberian ISBN (International Standard Book Number) terhadap buku itu dianggap sia-sia oleh Perpusnas apabila buku itu hanya dicetak terbatas, bahkan hanya hitungan 10 eksemplar. Penerbitan buku itu tidak relevan disebut publisitas.

Siapa Pembaca Buku Korporat?

Pertanyaan ini menjadi inti dari artikel ini dan telah disinggung sebelumnya. Pembaca sasaran buku korporat mungkin adalah pembaca ceruk, tetapi mungkin juga pembaca yang luas. Buku bertajuk Astra: On Becoming Pride of Nation diterbitkan oleh penerbit mayor Gramedia Pustaka Utama merupakan materi tentang praktik manajemen Astra yang sukses menjadi perusahaan kelas dunia. Buku itu dijual sebagai buku kertas dan buku elektronik karena berpotensi dibaca oleh pembaca umum yang ingin mengetahui tentang praktik manajemen PT Astra Internasional sebagai perusahaan publik yang terbilang sukses.

Artinya, dengan melihat citra dan reputasi Astra maka ada kemungkinan pembaca umum yang secara langsung bukan merupakan publik organisasi akan membeli buku itu. Saya pun membeli buku itu dalam versi elektronik sebagai bahan kajian buku korporat. Saya menempatkan diri sebagai periset yang memerlukan buku tersebut.

Satu lagi contoh menarik adalah penerbitan buku bertajuk Rantai Tak Putus: Ilmu Mumpuni Merawat UMKM Indonesia yang melibatkan Dee Lestari (Dewi Lestari) sebagai penulis dan PT Bentang Pustaka sebagai penerbit. Melalui buku ini, Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) yang didirikan PT Astra Internasional, Tbk. melakukan publisitas terkait dengan program pemberdayaan UMKM di berbagai daerah.

Dee Lestari dikenal sebagai artis penyanyi dan novelis. Buku itu menjadi sedikit dari karya Dee dari ranah nonfiksi. Buku itu pun tersedia dalam bentuk buku cetak dan dijual bebas. Para pembeli mungkin tertarik dengan penulisnya, Dee, yang menyajikan isi buku ini dengan gaya naratif.

Jadi, siapa sebenarnya pembaca buku korporat? Saya membaginya menjadi pembaca ceruk, yaitu publik organisasi (internal dan pemangku kepentingan eksternal) dan pembaca umum. Penetapan pembaca sasaran buku korporat sangat bergantung pada perencanaan kehumasan dari penerbitan buku ini.

Sering kali sebuah buku korporat oleh pimpinan korporat dinyatakan sebagai buku yang tidak hanya ditujukan kepada internal perusahaan dan pemangku kepentingan, tetapi juga pada masyarakat luas. Maksudnya menjadi publisitas yang menunjukkan lesson leant (intisari pembelajaran) dan bagian dari manajemen pengetahuan. Namun, faktanya buku itu tidak tersedia untuk diakses oleh masyarakat.

Konkretnya pembaca buku korporat saya klasifikasikan ke dalam enam kategori, yaitu

  1. karyawan korporat yang ingin lebih mengenali perusahaan tempatnya bekerja, terutama terkait sejarah masa lalu dan praktik manajemen korporat;
  2. pimpinan korporat yang ingn mengenang kembali legasi yang mereka tinggalkan;
  3. pemangku kepentingan, seperti investor, mitra kerja, konsumen, dan pemerintah yang ingin mengenali sepak terjang korporat dalam membangun citra dan reputasinya;
  4. periset yang ingin meneliti tentang korporat, baik sejarah maupun praktik manajemen;
  5. dosen dan mahasiswa yang menjadi korporat sebagai studi kasus pembelajaran di perguruan tinggi dalam berbagai konteks, seperti bisnis, manajemen, komunikasi, atau CSR; dan
  6. masyarakat umum yang tertarik dengan isu-isu korporat, apalagi hal-hal yang mengandung kontroversial yang bernilai berita.

***

Sayangnya, kajian tentang buku korporat atau buku organisasi sebagai instrumen kehumasan masih jarang dilakukan. Namun, program kehumasan terkait dengan buku korporat selalu ada dari tahun ke tahun, terutama melibatkan korporat-korporat besar. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai kajian awal penerbitan buku korporat, khususnya dalam konteks komunikasi korporat.

 

Sumber Tulisan:

Iriantara, Y. dan Surachman, A.Y. (2006). Public relations writing: pendekatan teoretis dan praktis. Simbiosa Rekatama Media.

Kriyantono, R. (2021). Best practice humas (public relations) bisnis dan pemerintah: manajemen humas, teknik produksi media publisitas, dan public relations writing. Kencana.

Ruben, B.D. dan Stewart, L.P. (2006). Komunikasi dan perilaku manusia. Rajawali Pers.

Tinggalkan komentar

Chat dengan CS
Salam untuk pengunjung website PENPRIN,
Kalau ada yang ingin ditanyakan langsung, silahkan chat via WhatsApp