Suatu Saat Menyapa Bali Lagi

PenulisPro.id | Tidak ada rencana ke Bali walau PPKM turun level. Tiba-tiba ada undangan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk menghadiri Lokakarya Data Penelitian KLP Literasi. Kebetulan saya memang menjadi salah satu konsultan untuk tim peneliti bacaan literasi. Jadilah saya berangkat ke Bali untuk acara yang dijadwalkan tanggal 26 Oktober 2021.

Ini kesempatan kali ketiga bagi saya mengunjungi Bali. Kesempatan yang menarik ketika Bali tengah dilanda sepi akibat pandemi dan berusaha bangkit kembali. Pariwisata Bali memang anjlok sejak tahun 2020. Destinasi wisata yang populer di mancanegara ini juga mencuatkan kasus Covid-19 sehingga cukup menjadi perhatian negara.

Saya hadir bersama 48 orang lainnya. Rombongan ini adalah para staf Balai Bahasa dari berbagai daerah. Peserta itu terbagi atas enam kelompok yang mengusung presentasi penelitian masing-masing. Tajuk penelitian dari kelompok yang saya konsultani tentang keberterimaan bacaan literasi pada siswa SD kelas III.

Sumber: Badan Bahasa

Mumpung ke Bali. saya putuskan membawa keluarga sambil menikmati alam Bali yang konon telah sepi sejak pandemi. Kami berangkat pada Senin, 25 Oktober dari Bandara Husein Sastranegara, menumpang pesawat Lion Air. Pas hendak pergi sudah terkena kebijakan penumpang pesawat harus tes PCR. Melalui pembelian tiket Lion, untungnya kami mendapat potongan harga tes PCR yang lumayan murah yakni Rp285.000—keputusan pemerintah tentang penuruan harga PCR belum berlaku saat itu meskipun kritik sudah muncul di sana sini.

Namun, antreannya itu sampai empat jam lebih di klinik yang ditunjuk. Hanya ada dua petugas pendaftaran tes dan satu petugas yang melakukan tes PCR. Mereka sudah tampak kelelahan seharian. Saya menghitung jika 300 orang saja sehari tes PCR, klinik itu sudah mengantongi omset paling tidak Rp90 juta (jika rata-rata harga Rp300 ribu).

Hasil tes PCR negatif, kami pun melenggang ke Bali. Sesampai di Bandara Ngurah Rai, saya langsung memesan taksi Bluebird, tertera harga Rp100 ribu seperti juga layanan taksi lainnya. Namun, praktiknya tidak Rp100 ribu, bergantung pada jarak. Kami membayar Rp200 ribu untuk sampai ke Legian, tepatnya di Hotel Love Fashion. Sesampai di resepsionis, saya langsung mengambil kunci kamar. Harga hotel sudah menurun drastis kurang dari Rp300 ribu.

Dari resepsionis saya mendapat kabar miris. Banyak pesanan hotel yang dibatalkan karena berubahnya kebijakan pemerintah tentang syarat penerbangan. Memang berat membayar tes PCR yang bervariasi dengan harga rata-rata Rp495 ribu. Itu hampir setara dengan tiket pesawat. Pulang-pergi hampir satu juta.

Begitu sampai. Siang hari kami berjalan di sekitar Legian untuk santap siang. Namun, suasana Legian begitu lengang. Banyak toko yang tutup, termasuk restoran cepat saji Burger King. Toko swalayan ada yang tetap bertahan, tetap lebih banyak lagi yang tutup. Banyak toko yang dikontrakkan karena penghuninya lamanya tak lagi sanggup bertahan.

Kawasan Legian yang lengang

Siang dan malam hari, kawasan Legian yang biasanya dipadati turis asing, nyaris “mati”. Pariwisata Bali memang ibarat ikan kehabisan air atau air kehabisan ikan. Hanya kegiatan-kegiatan organisasi yang diselenggarakan di Bali sedikit memberi oksigen untuk kehidupan pelaku usaha di sana.

Di Pantai Kuta yang biasanya dipenuhi wisatawan asing, tak lagi seperti itu. Lebih banyak wisatawan lokal yang datang. Mereka terutama mengunjungi Mal Beachwalk di sisi Kuta. Di Pantai Jimbaran, pemandangan pun serupa. Hanya ada 1–2 bule yang tampaknya sudah menetap lama di sana. Makan malam menjelang senja di kafe-kafe boga bahari (seafood) Jimbaran ternyata ramai juga. Cukup lama menanti makanan siap dihidangkan. Makan ditingkahi deburan ombak pantai, suasana temaram, dan sebatang lilin yang apinya meliuk-liuk ditiup angin.

Hari ketiga di Bali, saya dan keluarga berwisata ke kawasan Pura Uluwatu. Situasinya juga sepi karena hanya ada beberapa kelompok wisatawan. Kurang dari satu jam, kami sudah mengitari kawasan pura, lalu kembali ke Legian dan terus ke Beachwalk. Suasana di Beachwalk ramai, dipenuhi oleh kelas menengah atas. Kontras dengan suasana Legian yang lengang dan nyaris mati.

Akan tetapi, tampaknya Bali akan segera pulih jika kebijakan pemerintah sedikit longgar dalam soal tes PCR. Itu pendapat para sopir taksi daring yang saya naiki. Hampir setiap dari mereka menawari saya menggunakan jasanya berjalan-jalan di area Bali. Saya kira lebih praktis di Bali jika sudah paham dengan tujuan, menggunakan taksi daring saja daripada mencarter dengan hitungan jam.

Senin–Kamis saya habiskan waktu di Bali, Jumat kembali pagi menumpang pesawat Citilink. Harga PCR yang dibayar masih Rp495 ribu. Dua hari kemudian, baru pemerintah mengumumkan penurunan harga PCR dan perpanjangan masa berlaku menjadi 3 x 24 jam. Alamak.

 

Tinggalkan komentar