Cimahi, PenulisPro.id | Namanya Priskila. Ia termasuk di antara tiga mahasiswa ilmu komunikasi dari Universitas Paramadina yang diundang ke KPK. Undangan terkait dengan kegiatan diskusi kelompok terpumpun tentang penerbitan buku panduan untuk kampanye sosial integritas. Ia memberikan pandangannya mewakili Gen Z.
“Menurut saya desain awal buku ini justru menarik. Lebih banyak visual, sedikit teks, dan kekinian,” begitu pendapatnya yang berbeda dengan dua dosennya.
Turut diundang dua dosen dari Paramadina, yakni Wahyutama dan Putut Widjanarko. Dua dosen tersebut memberikan pandangan secara teoretis dan juga terkait dengan desain yang sebaiknya dibuat lebih lembut dari segi warna.
Priskila tidak sendiri. Pendapatnya didukung oleh dua orang temannya yang lain, Iqlima dan Jasmine. Mereka dengan fasih menyampaikan pendapatnya tentang buku dan apa yang mereka inginkan sebagai Gen Z.
Saya mewakili CV Penulis Profesional Indonesia mempresentasikan buku organisasi KPK bertajuk Integrity in Action yang merupakan bahan ajar untuk merancang program kampanye sosial. Penerbitan buku ini digagas oleh Direktorat Jejaring Pendidikan KPK di bawah Kedeputian Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat.
Buku tersebut ditujukan utamanya kepada pembaca sasaran mahasiswa, tetapi dosen dapat menggunakannya sebagai bahan ajar yang mempermudah mereka dalam konteks pendidikan antikorupsi. Diksi ‘integritas’ saat in lebih banyak digunakan oleh KPK alih-alih ‘antikorupsi’. Kata integritas sendiri merujuk pada makna yang jamak, bukan sekadar kejujuran.
Isi buku ini merupakan teori dan praktik bagaimana kampanye sosial dilaksanakan di kampus dengan memfokuskan kampanye pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Model ini telah diwujudkan melalui Campus Integrity Festival (CIFest) yang digelar KPK tahun ini—sebelumnya bernama Festival Integritas Kampus.
Memantik ketertarikan Gen Z untuk membaca buku dalam konteks masa kini memang tidak mudah karena mereka memiliki banyak alternatif untuk membaca dan memirsa apa pun. Cukup dengan gadget di tangan, mereka dapat menghabiskan waktunya dengan berbagai tawaran akses media. Karena itu, buku seperti apa yang menarik kaum Z ini memang perlu dipikirkan.
Dua kata kunci yang dapat saya petik adalah visualisasi dan teks ringkas. Sebenarnya hal ini jamak dilakukan untuk mereka yang enggan membaca atau kesulitan membaca teks-teks panjang tanpa visual. Visualisasi lebih menarik dan teks-teks ringkas lebih mudah dipahami. Saya menggunakan analogi buku graphic guide untuk nonfiksi yang mengantarkan materi dengan gambar plus teks-teks ringkas.
Begitu saya menyampaikan akan coba memasukkan komik strip pada beberapa bagian buku, para mahasiswa itu terlihat antusias. Menurut mereka itu hal yang menarik dan menyenangkan. Saya pun berpikir untuk memasukkan unsur humor ke dalam buku ini sebagaimana pernah saya lakukan saat menulis buku Jadi Pembicara Pro itu Mudah! yang waktu itu merupakan kali pertama saya membuat graphic guide.
Memang jika buku-buku teks perguruan tinggi dibuat seperti ini, kampus akan “riuh”. Jadi, ini mungkin sekadar angan-angan ketika institusi kampus masih senang dengan hal-hal yang kaku dan baku dari apa yang disebut dengan buku teks/buku ajar. Kalau buku teks/buku ajar dibuat ala graphic guide seperti ini, malah bakal dicurigai bukan sebagai bahan ajar.
Khusus, untuk buku KPK ini, saya ingin membuat sebuah terobosan bahan ajar. Tentu saja semoga berterima.