PenulisPro.id | Saya mulai dari sebuah asumsi bahwa 9 dari 10 akademisi yang menulis buku pendidikan tidak mencantumkan glosarium. Asumsi saya ini bukannya tidak berdasar karena pengalaman menilai dan meninjau buku pendidikan, kondisi itulah yang terlihat. Berbeda halnya dengan daftar pustaka atau indeks yang umumnya diadakan.
Lantas mengapa hal ini terjadi? Ditengarai para akademisi penulis itu belum memahami arti penting glosarium bagi pembaca. Jika pun ada glosarium, ternyata cara penyusunannya lebih banyak keliru. Hal ini menunjukkan glosarium hanya menjadi “pelengkap penderita” dalam sebuah buku.
Sebenarnya pengadaan glosarium pada sebuah buku pendidikan, terutama buku teks, sudah menjadi perhatian Ditjen Dikti di dalam Pedoman Publikasi Ilmiah 2019. Adanya glosarium dan indeks memberi nilai tambah terhadap penilaian buku untuk pengajuan angka kredit atau pengajuan hibah/insentif buku.
Glosarium perlu dipahami sebagai daftar istilah yang memberi nilai tambah pada buku karena membantu pembaca awam untuk memahami beberapa istilah yang baru dikenalnya, istilah teknis, atau istilah sulit. Keberadaan glosarium menjadi pertimbangan dalam penilaian buku pendidikan. Dengan demikian, glosarium akan membantu pembaca mengaitkan ingatannya pada istilah tertentu.
Jadi, istilah berbeda dengan kata biasa. Contohnya, kata ‘bunga’ bersinonim dengan ‘puspa’ dan ‘kembang’. Jika disebutkan bunga, pikiran kita akan tertuju pada bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya (definisi sesuai dengan KBBI, 2016). Namun, akan berbeda jika kata bunga itu disandingkan dengan bank menjadi bunga bank. Anda tidak akan lagi berpikir soal yang indah-indah berwarna.
Glosarium disusun dengan tata cara tertentu yang harus dipahami oleh penulis, apalagi editor. Hal yang memprihatinkan jika penulis keliru menyusun glosarium, tetapi editor justru tidak melihat kelemahan dan kesalahan itu. Editor percaya sepenuhnya bahwa glosarium dari penulis sudah benar.
Saya mempelajari penyusunan glosarium ini selama satu semester dengan bobot 2 SKS di Prodi D-3 Editing, Unpad. Jadi, penyusunan bagian ini memang memerlukan keterampilan khusus dan bagian dari unjuk inteligensi penulis. Seorang penulis diharapkan membahasakan sendiri (parafrasa) glosarium yang disusunnya, bukan sekadar menyalin tempel dari kamus atau buku lain. Jika ia terpaksa menyalin tempel, ia pun harus mencantumkan sumber kutipan.
Itu sebabnya dalam cek semacam Turnitin, bagian glosarium banyak tersorot karena merupakan hasil salin tempel dari kamus. Hal yang umum terjadi definisi dari kamus itu justru masih sangat teknis bagi pembaca awam. Logikanya mengapa ia harus mengecek glosarium jika ia mendapatkan penjelasan serupa dari kamus, terutama KBBI?
Demi menginsafkan penulis agar mampu menyusun glosarium secara baik dan benar, saya bersama PenulisPro.id menggelar webinar seri ke-10 bertajuk “Beginilah Menyusun Glosarium”. Kelas ini nanti akan tersedia dalam bentuk video sehingga dapat diakses kapan pun dengan biaya terjangkau.
Baiklah, salam insaf selalu! Salam sehat dan teruslah menulis!