PenulisPro.id | Ada beberapa pertanyaan mampir melalui pesan WA ataupun messenger kepada saya. Pertanyaan tentang kepentingan mendirikan penerbit berbadan usaha/berbadan hukum. Apakah penerbit mandiri (self-publisher) harus berbadan usaha/berbadan hukum?
Saya selalu menjawab YA dan mendorong siapa pun yang ingin mendirikan penerbit mandiri sebagai bisnis untuk mengurus perizinan badan usaha (CV) atau badan hukum (PT). Mungkin yang paling relevan sebagai UMKM adalah badan usaha CV (perseroan komanditer). Kelengkapan perizinan tersebut sebelum berlakunya UU Ciptaker (akan saya uraikan selanjutnya), yaitu akta notaris, SIUP, dan TDP plus NPWP perusahaan.
Disrupsi di industri penerbitan sudah lama terjadi ketika teknologi penerbitan memungkinkan sebuah buku diterbitkan dengan biaya rendah. Salah satunya karena kehadiran buku elektronik atau buku digital lebih dari dua dekade yang lalu. Di satu sisi, seorang penulis yang menetapi jalan penerbitan berpotensi sekaligus menjadi penerbit untuk karya-karyanya. Kata self di dalam istilah self publishing mengandung makna sendiri dan kemandirian. Pada zaman dahulu beberapa orang penulis sanggup menjalani usaha penerbitan mandiri, apalagi tentu pada saat ini.
Sebagaimana terjadi pada sektor lain, pengurusan izin berusaha di sektor penerbitan juga tidak mudah dan memerlukan biaya. Ada masa ketika saya begitu susah mengurus perizinan usaha di Kota Cimahi. Saya sempat mengeluarkan dana jutaan rupiah, tetapi SIUP dan TDP tidak kunjung keluar. Hanya akta notaris yang diperoleh. Sementara itu, untuk mengurus rekening atas nama perusahaan di bank memerlukan kelengkapan perizinan usaha (SIUP, TDP, NPWP).
Melalui artikel ini saya ingin menyampaikan suatu kabar harapan tentang perizinan usaha penerbitan dikaitkan dengan terbitnya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun, sebelum itu saya hendak mengungkap beberapa latar belakang.
Kerancuan Istilah Penerbit Mandiri
Beberapa tahun lewat ketika masih ada, BEKRAF menerbitkan buku Panduan Pendirian Usaha Penerbitan Mandiri. Buku ini diterbitkan BEKRAF bersama dengan Universitas Sebelas Maret. BEKRAF melibatkan akademisi untuk meneliti dan mengundang beberapa narasumber dari kalangan penulis/penerbit.
Ada hal yang menarik di dalam buku ini bahwa istilah penerbit mandiri mengalami pergeseran atau perluasan makna sejalan dengan semakin cepatnya laju perkembangan dunia penerbitan (2018: 1). Jika saya diundang pada waktu itu, saya akan menyatakan bahwa itu bukanlah pergeseran atau perluasan makna dari definisi sebelumnya, tetapi terjadi perancuan makna—sebagaimana kerap terjadi di Indonesia terkait dengan dunia penerbitan.
Pemikiran ini disampaikan BEKRAF dan UNS:
Istilah penerbitan mandiri sebelumnya merujuk pada serangkaian proses kegiatan yang dilakukan penulis sendiri dalam rangka menerbitkan hasil karyanya. Namun demikian, pengertian penerbitan mandiri saat ini lebih mengacu pada bentuk usaha jasa bidang penerbitan. Hal ini berarti bahwa serangkaian aktifitas proses penerbitan, mulai dari perancangan hingga penyebarluasan, tidak lagi menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Pekerjaan atau kegiatan seperti perancangan, produksi (pencetakan), dan proses penerbitan dapat dilakukan oleh pengusaha penerbitan mandiri atau pihak lain. (2018: 1)
Kerancuan ini adalah mencampuradukkan antara usaha penerbitan buku secara mandiri (self-publisher) dan usaha jasa penerbitan (publishing service) yang juga memiliki sebutan lain vanity publishing atau penerbitan berbayar/bersubsidi. Isu kerancuan ini sudah lama ada di dunia penerbitan, termasuk di negara lain. Hal ini pernah diungkap Shum FP, seorang master di bidang publishing studies dan juga praktisi penerbitan.
Shum khusus menulis satu bab tentang vanity publishing di dalam bukunya Publish It Yourself: Is Self-Publishing The Option For You? (2003)–merupakan konversi dari tesis Shum dalam bidang studi penerbitan di University of Stirling. Dalam paparannya Shum ingin meluruskan kerancuan pandangan antara self-publishing (independent publishing) dan vanity publishing.
Lalu, kemudian BEKRAF mengamini kerancuan ini dengan mendefinisikan penerbitan mandiri sebagai usaha penyediaan jasa merancang, memproduksi, dan menyebarluaskan informasi, ide, gagasan, dan karya ilmiah dan naskah lainnya dalam bentuk buku, baik itu berasal dari karya sendiri maupun karya orang lain. Padahal, di sisi lain di dunia penerbitan juga dikenal usaha jasa penerbitan (publishing service) dan perajin buku (book packager).
Jika membaca keseluruhan panduan dari BEKRAF tersebut, dominan sekali munculnya beberapa asumsi. Adanya matriks perbedaan antara penerbit indie (independent publisher), penerbit mandiri (self-publisher), dan penerbit mayor (major publisher) wujudnya ibarat sebuah hasil diskusi yang tidak memberi kejelasan berarti. Di bagian lajur skala industri disebutkan penerbit indie dan penerbit mandiri adalah industri rumah tangga (?), sedangkan penerbit mayor disebut industri reguler (?). Di lajur oplah (tiras) juga terdapat asumsi bahwa penerbit indie dan penerbit mandiri mencetak di bawah 500 eksemplar, sedangkan penerbit mayor di atas 500 eksemplar—tentulah dasar pemikiran seperti ini menjadi pertanyaan.
Tidak ada rujukan sumber yang meyakinkan meskipun akademisi dari UNS dilibatkan dalam penyusunan pedoman ini. Karena itu, pedoman ini sebaiknya direvisi total. Walaupun BEKRAF sudah tiada, dokumen ini masih tersedia di kemanparekraf.go.id. Anda dapat mengakses pedoman tersebut di tautan ini.
Badan Usaha/Badan Hukum Penerbitan
Penerbit berdasarkan kepemilikannya sebagaimana terjadi selama ini dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) penerbit pemerintah; (2) penerbit universitas/perguruan tinggi; (3) penerbit lembaga pendidikan; (4) penerbit masyarakat. Tiga penerbit yang disebutkan pertama umumnya didirikan sebagai unit pelaksana dari lembaga sehingga badan hukumnya menginduk pada badan hukum lembaga seperti yayasan pada lembaga pendidikan. Ada juga kekecualian seperti terjadi pada Penerbit IPB (university press) yang berbadan hukum PT—bukan sebagai UPT di IPB.
Saat ini hampir semua lembaga/kementerian pemerintah menerbitkan buku. Ada yang membentuk unit penerbitan sendiri, seperti BRIN Press (dahulu LIPI), IAARD Press (Kementan), dan LPB (Balitbangkes, Kemenkes). Namun, penerbit tersebut tetap menginduk ke lembaga/kementerian meskipun melakukan aktivitas bisnis yang menghasilkan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari penjualan buku.
Penerbit masyarakat adalah seperti yang umumnya kita kenal dengan skala usaha UMKM hingga makro (major publisher). Jika menyebut penerbit mayor (major publisher), istilah ini merujuk pada penerbit dengan skala industri. Dapatlah disebutkan ciri bahwa penerbit mayor memiliki jejaring pemasaran yang luas (hampir di seluruh wilayah), bahkan mereka membangun infrastruktur toko buku dan percetakan meskipun terkadang dijadikan unit usaha terpisah. Penerbit mayor juga umumnya memiliki imprint atau lini penerbitan khusus. Dengan kriteria ini, dapat disebutkan segelintir penerbit mayor di Indonesia, di antaranya Kelompok Kompas Gramedia, Grup Mizan, Grup Penebar Swadaya, Grup Agromedia, Erlangga, Yudhistira, Tiga Serangkai, dan Bumi Aksara. Di dunia dikenal penerbit mayor, seperti Penguin Random House, HarperCollins, Hachette Livre, Willey (John Willey and Son), Scholastic, Macmillan, Mc-Graw Hill Education, Kodansha, Oxford University Press, dan Simon Schuster.
Penerbit mayor di Indonesia mampu memproduksi buku di atas 20 judul buku per bulan atau rata-rata per tahun 200 judul buku baru, belum termasuk cetak ulang atau edisi baru. Tentu saja penerbit yang tidak memiliki “kekuatan” semacam itu tidak dapat disebut penerbit mayor. Skala di bawah itu adalah menengah, kecil, dan mikro. Penerbit mandiri tergolong sebagai UMKM alih-alih kemudian mereka berpotensi menjadi penerbit mayor.
Penerbit masyarakat dapat didirikan dengan badan usaha/badan hukum, yaitu CV, PT, yayasan, dan memungkinkan juga koperasi. Jika meneliti penerbit-penerbit anggota Ikapi, dominan berbadan hukum PT, diikuti yang berbadan usaha CV, dan sedikit yang berupa yayasan seperti Yayasan Obor Indonesia. Adapun penerbit perguruan tinggi yang menjadi anggota Ikapi biasanya berstatus sebagai UPT (unit pelaksana teknis) dari lembaga pendidikannya.
Tantangan ISBN dan Legalitas Usaha
Legalitas badan usaha/badan hukum sangat berhubungan dengan pengurusan ISBN (International Standard Book Number). Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan keberadaan nomor ISBN menjadi wajib untuk setiap buku yang diterbitkan. Di sisi lain, ISBN menjadi syarat sebuah buku dapat dinilaikan untuk angka kredit di kalangan akademisi perguruan tinggi ataupun ASN fungsional di lembaga pemerintah.
ISBN sendiri dikeluarkan oleh Perpusnas RI yang mewajibkan penerbit pengaju ISBN harus berbadan usaha/berbadan hukum. Jadi, mau tidak mau apabila penerbit ingin mendapatkan ISBN untuk bukunya, ia harus memiliki legalitas badan usaha/badan hukum. Demikian pula keanggotaan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) mewajibkan setiap penerbit memiliki legalitas usaha dengan bukti adanya akta notaris, SIUP, dan TDP.
Tantangan ISBN dan kesulitan lain dalam pengurusan legalitas usaha membuat para penulis lebih memilih menggunakan jasa vanity publisher (penerbit berbayar) meskipun banyak di antaranya yang tidak profesional. Tidak profesional di sini maksudnya para pengelola penerbit berbayar itu sama sekali tidak memiliki keahlian dan keterampilan di bidang penerbitan—sekadar bermodalkan kenekatan ketika melihat peluang bisnis.
Sasaran empuk dari penerbitan berbayar adalah para akademisi (dosen) yang terdesak oleh kebutuhan angka kredit dari publikasi berupa buku. Semestinya yang terjalin memang simbiosis mutualisma atau kerja sama saling menguntungkan, tetapi sering kali buku-buku yang dihasilkan adalah karya asal terbit. Fungsi konsultasi yang dijalankan oleh penerbit berbayar ini kurang atau tidak ada sama sekali.
Mengintip Peluang Perubahan
Tahun 2020 tercatat pengajuan ISBN ke Perpusnas RI sebanyak 144.793 judul. Meningkat signifikan dari tahun 2019 yang tercatat 95.630 judul. Pengajuan ini terjadi sebelum dan setelah COVID-19 melanda Indonesia. Gairah menerbitkan buku ini ternyata sangat tinggi di Indonesia sebagai akibat kemajuan teknologi dan sadarnya masyarakat tentang kepentingan menerbitkan buku tanpa menafikan aspek peluang bisnis.
Apakah ada kemungkinan Perpusnas membebaskan pengurusan ISBN dengan “melonggarkan” syarat badan usaha/badan hukum ini? Jika dibuka kran bebas seperti sebelumnya, Perpusnas khawatir terjadi haru biru alias kekacauan dalam penggunana ISBN, seperti ISBN ganda, ISBN diperjualbelikan, dan ISBN dikeluarkan untuk buku yang tidak pernah diterbitkan.
Namun, jika merujuk pada UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, pemerolehan ISBN semestinya dipermudah agar buku menjadi legal untuk diterbitkan dan diedarkan serta sekaligus dapat terdata dengan baik. ISBN dapat dijadikan data induk untuk membuat klasifikasi penerbit dan penerbitan. Hal ini yang tampaknya belum dikerjakan di Indonesia sehingga basis data perbukuan kita sangat minim untuk tidak mengatakan tiada sama sekali.
Saat berkiprah di Ikapi, saya sering ditanya soal beberapa data perbukuan. Ikapi minim melakukan riset perbukuan, demikian pula pemerintah sehingga data mutakhir hampir tidak tersedia. Satu-satunya data yang pernah saya kumpulkan, lalu berbuah menjadi buku bertajuk Industri Perbukuan Indonesia dalam Fakta dan Angka yang diterbitkan Ikapi tahun 2015 dalam rangka menyambut Indonesia sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2015.
Saat ini Pusat Perbukuan sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi perbukuan sedang menyiapkan SIBI (Sistem Informasi Buku Indonesia). SIBI diharapkan dapat menjawab keminiman data perbukuan di Indonesia.
KBLI Penerbitan yang Tidak Memiliki Pengampu
Inti tulisan saya sebenarnya adalah bagian akhir ini. Suatu hari pada bulan Oktober 2021, saya mengikuti rapat antara Pusat Perbukuan dan BKPM. Rapat ini untuk membahas status badan usaha penerbitan. Sebelum pertemuan tersebut, saya sudah mendapat kabar terkait dengan kemudahan berusaha saat ini buah dari terbitnya UU Ciptaker.
Saya meluncur ke situs web online single submission (OSS) untuk membuktikan saat ini telah ada badan usaha perseorangan. Sepertinya ini yang kita tunggu bahwa badan usaha perseorangan berdasarkan perizinan badan usaha berbasis risiko dapat didirikan oleh individu. Sebelum ada sistem OSS, perseorangan yang ingin mendirikan usaha harus mengurus akta notaris, SIUP, dan TDP perseorangan. Setelah berlakunya sistem OSS maka hanya perlu mengurus NIB (nomor induk berusaha) dengan berbekal NIK (nomor induk kependudukan) serta NPWP.

Badan usaha perseorangan dapat didirikan pada jenis usaha dengan risiko rendah atau menengah rendah. Basis risiko sesuai dengan PP Nomor 5 Tahun 2021 berhubungan dengan (1) aspek keselamatan; (2) kesehatan; (3) lingkungan; (4) pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; dan (5) aspek lain. Dari hal ini kita dapat menimbang-nimbang apakah usaha penerbitan itu berisiko terhadap kelima hal tersebut. Mungkin pertimbangan aspek lain itu dapat dilihat dari dampak terbitnya buku-buku yang melanggar norma (syarat isi buku dalam UU Nomor 3/2017) dan tidak bermutu.
Pendaftaran badan usaha untuk mendapatkan NIB memerlukan tautan KBLI (Kualifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia). Di sinilah muncul permasalahan bahwa KBLI Penerbit yang saya masukkan KBLI 58110 Penerbitan Buku itu terdapat keterangan memerlukan izin dari lembaga/kementerian. Dengan demikian, saya tidak dapat mendaftar sebagai badan usaha perseorangan. Demikian pula untuk KBLI baru bernomor 90024 untuk Aktivitas Penulis dan Pekerja Sastra.
Dengan merujuk pada UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan jelaslah bahwa usaha penerbitan masuk ke dalam Sektor Pendidikan. Perizinan usaha penerbitan di Sektor Pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan perizinan usaha berbasis risiko (PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang P2B2R).
Namun, ternyata usaha penerbitan dengan KBLI 58110 dan usaha penulisan/pekerjaan sastra dengan KBLI 90024 belum masuk ke dalam sistem OSS. Mengapa? Berdasarkan keterangan pihak BKPM bahwa usaha penerbitan termasuk ke dalam 353 KBLI tanpa pengampu alias tidak berinduk. BKPM kemudian menentukan bahwa KBLI 58110 menggunakan referensi KBLI 58130 yakni Penerbitan Surat Kabar, Jurnal, dan Buletin atau Majalah dengan tingkat risiko menengah rendah. Pengampu untuk KBLI ini bukan Kemendikbudristek, melainkan Kemenperin.
Artinya, BKPM memutuskan KBLI Penerbitan disamakan statusnya dengan KBLI Penerbitan Surat Kabar yang menginduk kepada Kemenperin. Tentulah hal ini tidak sesuai dengan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan yang jelas-jelas menyebutkan Kemendikbudristek sebagai lembaga yang menangani urusan perbukuan. Untuk itu, melalui rapat antara Pusat Perbukuan Kemendikbudristek dan BKPM telah disampaikan bahwa KBLI 58110 Penerbitan Buku dan termasuk juga KBLI 90024 Aktivitas Penulis dan Pekerja Sastra diampu oleh Kemendikbudristek. Tampaknya pada rapat sebelumnya terkait penentuan pengampu KBLI di Sektor Pendidikan, KBLI Penerbitan Buku serta KBLI Penulis dan Pekerja Sastra ini luput dimasukkan, sedangkan usaha perfilman diampu oleh Kemendikbudristek.
Peralihan dari Kemenperin ke Kemendikbudristek sedang diupayakan agar usaha penerbitan dan usaha penulisan dikembalikan kepada induknya yakni Kemendikbudristek. Tentu sangat dinantikan segera status badan usaha penerbitan buku ini.
Jika usaha penerbitan dan usaha jasa penulisan dikategorikan berisiko rendah (R), seorang penerbit/penulis dapat menjalankan badan usaha perseorangan hanya dengan NIB tanpa perlu sertifikasi standar (SS). Sertifikat standar untuk kategori usaha dengan risiko menengah-rendah berupa pernyataan mandiri di dalam Sistem OSS. Pernyataan itu bentuknya bahwa pelaku usaha akan memenuhi dan melaksanakan seluruh standar pelaksanaan kegiatan usaha.
Siapa yang menetapkan standar kegiatan usaha penerbitan? Inilah yang sedang dipersiapkan Kemendikbudristek dalam bentuk draf peraturan menteri, di antaranya tentang Standar dan Kaidah Perbukuan serta Tata Kelola Perbukuan. Sertifikasi profesi pelaku perbukuan dan akreditasi penerbit termasuk yang menjadi bagian dari sertifikat standar dalam melaksanakan usaha penerbitan.
Menanti Perubahan dan Gairah Perbukuan
Jika usaha penerbitan buku dan usaha penulisan telah masuk ke sistem OSS dan ditetapkan risiko rendah (R) atau menengah-rendah (UR), bersiaplah industri kreatif penerbitan akan semakin bergairah. Buku-buku akan semakin banyak diterbitkan secara mandiri. Perpusnas juga sudah dapat menetapkan bahwa pengurusan ISBN hanya memerlukan NIB.
Inilah momentum perlunya pembinaan para pelaku perbukuan secara serius yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pengadaan program studi penerbitan di kampus-kampus perlu ditambah. Pelatihan perbukuan berbasis kompetensi harus segera dirancang dengan berbasis pada ilmu bahasa dan sastra, ilmu penerbitan, ilmu komunikasi, ilmu manajemen, ilmu desain komunikasi visual, dan ilmu TIK. Sertifikasi pelaku perbukuan dan akreditasi perbukuan juga sudah saatnya ditetapkan untuk meningkatkan muruah industri kreatif ini di kancah regional dan internasional.
Gairah perbukuan harus dimunculkan kembali. Kita sudah terlalu lama memandang pesimistis industri perbukuan Indonesia meskipun di satu sisi ada saja para pelakunya yang tetap optimistis. Saya sendiri tetap optimistis karena memang “periuk nasi” saya dan kayu bakarnya ada di industri perbukuan. Memperjuangkan periuk nasi dan kayu bakar ini adalah sebuah keniscayaan.
Make it happen!
Sangat bermanfaat infonya.
Saya termasuk yang menunggu berita bagus KBLI penerbitan di OSS.
Salam,
Dina
Terima kasih Bu Dina, sekarang sudah memasuki tahap persiapan regulasi setingkat permen.