Cimahi, PenulisPro.id | Sudah biasa karya tulis ilmiah yang disusun mahasiswa itu amburadul. Dosen pun sering kali dibuat pusing bin pening membaca dan menilainya.
Bahkan, suatu ketika saya mendapat beberapa WA dari mahasiswa kampus ternama. Para mahasiswa itu meminta saya mengedit skripsi mereka karena sang dosen mewajibkan skripsi diedit oleh editor profesional, besertifikasi. Mungkin ya tadi itu, sang dosen pusing bin pening membaca karya mahasiswa yang mengenaskan.
Menyerahkan urusan ke editor profesional mungkin sebuah solusi. Namun, terkadang tarif editor profesional tidak dapat berkompromi dengan kantong mahasiswa. Alhasil, kebijakan ini bakal menyulitkan mahasiswa karena harus merogoh kocek lagi.
Karena itu, salah satu solusi adalah meningkatkan kapasitas mahasiswa itu sendiri melakukan swasunting. Swasunting meniscayakan dosen lepas dari kepusingan dan kepeningan membaca karya mahasiswa.
Apa itu swasunting? Istilah ini dalam bahasa Inggris disebut self-editing. Proses ini lazim dilakukan ketika draf naskah sudah tuntas. Penulis perlu kembali mengedit karyanya sendiri sebelum dikirimkan ke media atau dipublikasikan. Kemampuan swasunting hanya dapat bekerja ketika penulis memahami beberapa aspek penulisan.
Nah, dalam konteks karya tulis ilmiah (KTI), tentu banyak aspek yang perlu diperhatikan, di antaranya tiga hal berikut.
Pertama, soal bahasa KTI yang harus menggunakan bahasa baku/formal. Walaupun demikian, bahasa baku tidak harus kaku. Dalam hal ini, penulis harus memahami dulu EYD V dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Kedua, penulis harus memahami gaya selingkung penerbitan yang diterapkan. Biasanya setiap kampus cenderung menerapkan gaya selingkung tertentu. Contohnya, APA Style atau Chicago Manual of Style. Ketiga, penulis harus memahami anatomi KTI dan unsur-unsur yang membangun sebuah KTI. Hal ini termasuk bagaimana cara menulis prakata, menulis abstrak, mengutip, menyusun glosarium, dan menyusun daftar pustaka.
Pengetahuan dan keterampilan swasunting dapat diinstal ke dalam diri mahasiswa. Syaratnya, kampus harus memasukkannya ke dalam mata kuliah Penulisan KTI atau mata kuliah Penyuntingan Naskah. Namun, tidak semua kampus menyelenggarakan mata kuliah ini atau pembelajaran pada mata kuliah ini belum memasukkan materi swasunting. Selain itu, ada keterbatasan dosen yang mampu mengajarkannya.
Cara lain adalah dengan menyelenggarakan pelatihan khusus tentang topik ini. Kegiatan inilah yang sedang dirancang antara Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, dan CV Penulis Profesional Indonesia. Kegiatan ini akan diselenggarakan dua hari penuh dengan memasukkan materi swasunting sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Apa saja materi yang akan disampaikan? Berikut bocorannya.
-
Karakteristik KTI & Anatomi KTI
-
Prinsip Penyuntingan Naskah
-
Gaya Selingkung Penerbitan (APA Style/CMS)
-
Aspek-Aspek yang Disunting
-
Praktik Menyunting Bahasa
-
Praktik Menyunting Data dan Fakta
-
Praktik Menyunting Legalitas
-
Praktik Menyunting Gambar
-
Praktik Menyunting Naskah KTI
Pelatihan 70% adalah praktik dan 30% teori penyuntingan. Peserta mahasiswa akan diajak langsung berpraktik mengenali kelemahan dan kesalahan pada naskah. Pada ujungnya pelatihan ini akan mengasah intuisi mereka terhadap kualitas karya tulis.
Memang, selalu ada pertanyaan sekarang ini zamannya Open AI sehingga penggunaan Chat-GPT dapat memperhalus tulisan. Benar, tetapi yang semakin pintar adalah Chat-GPT, bukan manusianya. Kalau manusianya tidak punya intuisi sebagai editor, apa yang disampaikan Chat-GPT juga tidak terdeteksi, benar atau salah.
Kami dari Penulis Profesional Indonesia ingin membantu dosen agar tidak perlu lagi pusing bin pening membaca KTI dari mahasiswa. Biarkan mahasiswa mengedit tulisannya sendiri sebelum dibaca oleh dosen. Mereka pun akan terbina menjadi editor-editor andal sehingga giliran dosennya salah, mereka akan mengeditnya.