Beginilah Menulis Buku Anak Berjenjang

Cimahi, PenulisPro.id | Beberapa tahun ke belakang, jarang penulis buku anak yang peduli terhadap jenjang pembaca sasaran. Jenjang yang sering diidentikkan dengan usia itu dicantumkan sekenanya saja.

Buku ini untuk anak usia 7–12 tahun. Begitu tulis sebuah buku. Saya pernah menulis hal ini beberapa tahun ke belakang sebelum adanya perjenjangan buku. Tidak mungkin buku anak rentangnya terlalu lebar seperti itu.

Sampai kemudian Pusat Perbukuan menyusun Pedoman Perjenjangan Buku. Pedoman tersebut rampung pada tahun 2022 dan dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Nomor 030/P/2022 tentang Perjenjangan Buku. Padu-padan buku dianggap penting bukan soal usianya, melainkan soal kemampuan membaca yang berbeda pada tiap anak.

Pembaca terbagi atas pembaca kanak-kanak (jenjang A), pembaca anak-anak (jenjang B dan C), serta pembaca remaja (jenjang D dan E). Penilaian buku dan sayembara penulisan buku yang diadakan pemerintah pun mulai menerapkan pedoman ini. Banyak penulis buku anak yang kesulitan menyesuaikan diri dengan peraturan ini.

Tahun 2023, saya menjadi pelatih dan juga juri dalam beberapa program sayembara penulisan buku anak berjenjang yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa/Kantor Bahasa di bawah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Mayoritas penulis tampak tidak menaati aturan perjenjangan buku ini.

Saya memaklumi karena kebanyakan penulis tampaknya sekadar mencoba-coba menulis buku anak, bukan sesuatu yang mereka dalami dan seriusi. Mereka pun kurang pahami sepenuhnya tentang sastra anak.

Di sisi lain sosialisasi Pedoman Perjenjangan Buku masih minim sehingga pengetahuan ini tidak tersebar luas. Saya melihat juga terdapat persepsi yang berbeda-beda.

Bagi penulis buku anak, tentu mereka harus beradaptasi dengan paradigma baru perjenjangan buku itu. Sebenarnya ada juga pendapat untuk apa buku anak diatur-atur seperti ini. Jawabannya karena hal ini memang hasil pemikiran para ahli yang berempati pada anak dengan kemampuan membaca berbeda-beda.

Kemampuan membaca itu tidak selalu identik berkembang sesuai dengan usia. Ada anak yang sudah membaca lancar sejak usia 7 tahun atau kelas I SD. Namun, ada juga anak usia 9 tahun atau kelas III SD masih tertatih dalam membaca. Itu mengapa buku dipadu-padankan sesuai dengan jenjang.

Aturan Kebahasaan

Hal yang paling kentara dalam Perjenjangan Buku ini adalah aturan kebahasaan. Pembaca jenjang A hanya boleh dikenalkan dengan tiga kalimat dalam satu halaman (boleh kurang, tidak boleh lebih) Satu kalimat maksimal hanya memuat lima kata, baik kata dasar maupun kata berimbuhan. Kata-kata itu juga merupakan kata umum yang familiar bagi anak.

Contoh:

Dani datang dengan wajah sedih.

Di tangannya ada layangan yang sudah robek.

Wah, Dani tiba-tiba menangis!

Kalimat itu hanya disusun dalam baris-baris, bukan paragraf. Huruf kapital sudah dapat digunakan, begitu pula tanda baca sederhana.

Di jenjan A, B1, hingga B2, penulis buku anak belum dibolehkan menggunakan dialog/percakapan dengan kalimat langsung. Mengapa? Alasannya, pembaca belum mampu mengenali konteks dialog/percakapan atau kalimat langsung itu. Jadi, semua kalimat langsung diubah menjadi kalimat taklangsung.

Contoh yang Tidak Dianjurkan (Jenjang A):

“Dari mana kau dapat buah para ini?” tanya Bonar.

“Di sanalah! Di hutan karet dekat kebun Wak Tigor,” jawab Tulus.

“Ini semua untukku kan?” Bonar terlihat senang.

Contoh yang Dianjurkan (Jenjang A):

Mata Bonar berbinar. 

Diterimanya buah para dari Tulus.

Buah itu dari hutan karet.

Dengan kalimat dan kata-kata yang minim seperti itu maka peran ilustrasi dalam buku anak sangat penting dan dominan. Ilustrasi itu membantu “berbicara” banyak tentang latar cerita dan alur. Karena itu, kalaulah ilustrasinya tidak imajinatif, kurang bermakna buku anak tersebut.

Bonar yang tampak senang menerima buah para dari Tulus tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Gunakan ilustrasi untuk memperlihatkan ekspresi Bonar yang senang.

Perhatikan contoh buku jenjang B1 berikut:

Pada jenjang B1 sebenarnya sudah dibolehkan menggunakan kalimat majemuk setara. Contoh kalimat majemuk setara dengan pembatasan tujuh kata dalam satu kalimat (jenjang B1).

Tuti tidak takut gelap, tetapi takut cecak.

Lola bermain biola dan Satar memetik gitar.

Perhatikan contoh jenjang B3 berikut ini:

Balon pikiran seperti tokoh yang mengkhayalkan sesuai tidak tidak perkenankan juga muncul di dalam buku jenjang A, B1, B2, dan B3. Anak belum memahami konteks balon pikiran/balon kata-kata itu. Karena itu, komik hanya cocok untuk jenjang C ke atas. Di dalam contoh jenjang B3 terdapat kata brum brum!!. Onomatope atau kata-kata tiruan bunyi itu boleh menghiasi ilustrasi.

Jenis Buku Anak Berdasarkan Jenjang

Jenis buku untuk jenjang tertentu juga ternyata berpengaruh. Buku cerita bergambar (picture book) dengan sedikit kata dan kalimat atua buku cerita bergambar nirkata (wordless picture book) cocok untuk buku-buku jenjang A, B1, dan B2. Adapun untuk buku anak B3 sudah dapat dikenalkan buku berbab (chapter book) dengan membagi materi/cerita dalam bab.

Tentang hal ini juga banyak yang tidak diketahui penulis, terutama berdasarkan pengalaman saya sebagai juri buku cerita anak di daerah. Semua menganggap buku anak ya buku cerita bergambar tanpa memperhatikan adanya perbedaan dalam penyajian berdasarkan jenjang.

Penyajian halaman dan ilustrasi dapat menggunakan halaman tunggal setiap satu halaman. Gambar masing-masing berdiri sendiri atau terpisah. Selain itu, dapat juga menggunakan ilustrasi menyebar (spread) yang tersaji dalam dua halaman (lihat contoh gambar jenjang B1). Nah, dalam satu halaman juga dapat dibuat ilustrasi dalam bentuk panel-panel seperti contoh buku jenjang B2.

Contoh di bawah ini memperlihatkan buku jenjang B3 yang sudah menggunakan bab sebagai pembagi antarcerita. Jenjang B3 juga sudah diperkenankan menggunakan paragraf meskipun tetap dibatasi hanya tiga paragraf dalam satu halaman. Pada jenjang B3, porsi antara ilustrasi dan teks 50:50 atau dapat juga ilustrasi masih dominan.

Novel awal (first novel) atau novel anak baru dapat diperkenalkan pada jenjang C. Di jenjang C ilustrasi tidak lagi dominan dan hanya sebagai pemanis cerita. Karena, buku untuk pembaca semenjana ini sudah tidak terlalu diatur soal bahasanya.

Konsep dan Naskah

Konsep buku cerita anak sebenarnya sama dengan cerita untuk orang dewasa. Hal yang berbeda hanya pada kesederhanaan. Buku anak tidak lebih kompleks dari buku orang dewasa.

Konsep buku anak tetap disusun dengan premis, logline, dan sinopsis. Tokoh yang dihadirkan, terutama tokoh utama dan tokoh pendamping perlu diuraikan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi internal, dan dimensi eksternal.

Proses kreatif yang dilakukan oleh penulis ketika menulis buku jenjang A, B1, dan B2 adalah membuat papan cerita (story board), sedangkan penulis buku jenjang B3 membuat draf naskah untuk buku berbab. Jadi, memang berbeda.

***

Bersama Penulis Profesional Indonesia (Penprin) kemudian saya menyelenggarakan sebuah mini workshop selama tiga hari mulai tanggal 24–25 Mei 2023, pukul 19:15–21:30 WIB secara daring via Zoom. Ingin tahu lebih banyak soal buku berjenjang boleh mengikuti kelas ini.

 

Tinggalkan komentar

Chat dengan CS
Salam untuk pengunjung website PENPRIN,
Kalau ada yang ingin ditanyakan langsung, silahkan chat via WhatsApp